Selasa, 20 Januari 2009

Purwaceng

Purwaceng Wonosobo Lebih Joss dari Ginseng

ImageSiapa bilang yang punya ginseng itu Cuma Korea. Sebenarnya, Indonesia pun sudah lama memilikinya. Tapi namanya memang bukan ginseng, karena pohon itu hanya bisa tumbuh bagus di Korea. Sedangkan yang ada di Indonesia, namanya Purwaceng atau bahasa lainnya pimpinella pruatjan.

Bahkan kabarnya, khasiat Purwaceng lebih joss dari ginseng. Dari namanya saja, sudah memberikan gambaran tentang khasiat. Nama itu diambil dari kata Purwa dan Ceng. Kata Purwa dalam kamus Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) memiliki arti permulaan, masa lalu, masa yang lama. Sedangkan Ceng asal kata dari Cengeh, artinya gadis centil atau Ceng yang berdiri sendiri berarti saripati (tebu).


Pohon jenis perdu ini pun tidak bisa tumbuh sembarangan. Berbeda dengan ginseng. Kalau tanaman khas Korea itu masih bisa tumbuh di Indonesia hingga menghasilkan umbi, walaupun tidak sebaik di tanah asalnya. Malahan, di Indonesia sendiri ada pohon sejenis ginseng, yang biasa disebut dengan pohon Pokok Akar Som, Pokok Galak Tua, Som Jawa atau Kolesom. Pohon ginseng Jawa ini tumbuh subur di tanah Jawa dan dijadikan sebagai ramuan obat-obatan.

Sedangkan Purwaceng, hanya bisa tumbuh di Gunung Dieng, Kabupaten Wonosobo. Itu pun tidak semua kawasan Gunung Dieng, karena harus memiliki ketingian 1.700-2000 meter diatas permukaan laut (dpl). Hanya dua gunung yang bisa dijadikan sebagai habitatnya, yakni Gunung Perahu dan Gunung Pakuwojo. Sudah banyak yang berusaha membudidayakannya, namun hasilnya tidak sebagus aslinya.

Purwaceng sepertinya sudah menjadi ‘anugerah’ buat warga Kabupaten Wonosobo. Tanaman yang memiliki khasiat untuk menambah stamina ini merupakan potensi luar biasa yang tidak dimiliki daerah lain di tanah air ini. Itulah sebabnya, Bupati Wonosobo HA Choliq Arif mengaku telah menjadikan Purwaceng sebagai komoditas unggulan yang sedang dikembangkan. Pemerintah daerah setempat sedang berupaya untuk menambah areal tanam Purwaceng hingga 5.000 hektar.

“Purwaceng ini luar biasa, kita sedang mencari peluang untuk mendapatkan lahan minimum 5.000 hektar untuk memproduksinya,” kata Choliq ketika berbincang-bincang dengan Milimeter.

Menurut Choliq, Purwacang ini tumbuh seperti umbi-umbian yang memiliki kadar ‘ginseng’ sangat tinggi. Saat ini sudah ada yang memproduksinya sebagai obat-obatan dalam bentuk ekstrak maupun kapsul, sebagai suplemen untuk memacu stamina laki-laki.

Sayangnya, hingga saat ini pengembangannya masih bersifat tradisional. Belum digarap dengan teknologi yang lebih modern. Ke depannya, Purwacanag diharapkan bisa menjadi komoditas yang bisa diolah secara lebih maju lagi. Sedangkan untuk pembudidayaannya, Purwaceng bisa juga dijadikan sebagai tanaman pertanian rakyat mengantikan kentang dan tanaman semusim lain yang selama ini merusak kawasan dataran tinggi Dieng.

“Komiditas Purwacang ini bagian dari keunggulan-keunggulan komparatif yang hendak kita kembangkan secara lebih menyeluruh, karena nilai tambahnya sangat bagus,” kata Choliq. Selain Purwacang, Kabupaten Wonosobo juga masih memiliki komoditas unik lain yang bisa dijadikan andalannya, yaitu Karika, sejenis pepaya kerdil yang hanya hidup di atas ketinggian 1.700 m dpl.

Sama seperti Purwacang, Karika juga hanya mau tumbuh dan berkembang bagus di daerah Gunung Dieng. Sedangkan di tempat-tempat lain, Karika tampaknya tidak enggan untuk hidup.

Tanaman ini pun merupakan tanaman yang sangat potensial untuk dijadikan komoditas unggulan, karena setelah digarap secara tradisional, ternyata memiliki potensi pasar yang cukup menjanjikan.

“Karika telah memiliki pangsa pasar yang luar biasa. Komoditas ini menjadi produk unggulan untuk home industri. Misalnya diproduksi menjadi minuman botolan yang pengolahan dilakukan oleh masyarakat sendiri,” ungkap Choliq.

Choliq mengaku yakin bahwa Karika bisa dijadikan potensi unggulan daerahnya, melalui sistim produksi pabrikasi. Untuk terpenuhinya kapasitas konstan produksi sebuah pabrikasi, dibutuhkan minimal 5.000 hektar untuk pengembangannya. Karena itulah, Pemkab Wonosobo sedang mencari areal yang dianggap paling pas untuk tumbuh dan berkembangnya Karika, termasuk Purwacang.Melalui kawasan pertanian khusus Karika dan Purwacang, diharapkan Wonosobo mampu menjadikan kedua komoditas itu sebagai andalan, sehingga bukan hanya menembus pasar lokal, tapi juga regional dan internasional. Krusial

Keunggulan lain Kabupaten Wonosobo yang bisa dijadikan pendukung percepatan kemajuannya adalah kondisi geografisnya yang menguntungkan. Daerah ini berada di tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah dan merupakan kawasan krusial, karena dataran tinggi Wonosobo yang memiliki Gunung Dieng, menjadikan daerah ini berada di atas 7 kabupaten/kota yang berhubungan langsung.

Ketujuh kabupaten tersebut adalah Kabupaten Batang, Kendal, Pekalongan, Kotamadya Pekalongan, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang. Selain ketujuh kabupaten/kota, ada daerah lain yang memiliki hubungan tidak langsung, yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Kebumen dan Tegal.Namun demikian, daerah-daerah tersebut bisa menanggung kerugian yang luar biasa jika Gunung Dieng mengalami kerusakan, yang diakibatkan oleh dampak pertanian semusim. Apalagi, di Gunung Dieng ada 5 hulu sungai yang alirannya melewati kabupaten-kabupaten tersebut, yaitu Sungai Botris, Kali Mati, Sungai Serayu, Loulo Bogowonto.

“Jadi, saya juga harus memberikan tanggung jawab terhadap keselarasian lingkungan di kawasan-kawasan kabupaten lain. Apalagi kerusakan di lingkungan kita sendiri sudah terbilang parah, seperti kawasan milik Perhutani yang luasnya 18.900 hektar, sekarang tinggal sekitar 35 % lagi,” ungkap Choliq.

Menurut Choliq, untuk menyelamatkan kawasan Gunung Dieng dibutuhkan program reboisasi, yang diberi nama Program Pemulihan Dieng (PPD). Program ini memang harus sejalan dengan pemerintah propinsi dan pusat. Sebab di dalamnya akan melibatkan Departemen Kehutanan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian, termasuk Departemen Pariwisata.

“Di Propinsi Jawa Tengah sendiri ada 7 kabupaten lain yang harus ikut terlibat dan menjadi satu kesatuan dalam hal tanggung jawab. Karena Wonosobo merupakan hulu tertinggi di Jawa Tengah, maka untuk membangun kembali lingkungan ini saya sudah memulainya dengan gerakan Wonosobo menanam,” akunya.

Gerakan itu sudah dilakukannya sejak tahun 2006 lalu dan pada tahun 2007 ini ditandatanganinya Memorendum Of Understanding (MOU) untuk proyek pemulihan Dieng, khususnya untuk kawasan seluas 8.400 hektar di areal puncak Dieng dan 10.000 hektar di areal kaki gunung, yang sangat mendesak untuk segera dipulihkan.

Konsep-konsep penataannya merupakan perpaduan konsep antar daerah dan antar departemen. “Semua sudah saya lakukan,” akunya. Bahkan sampai kepada dokumen publiknya pun sudah ditandatangani. Jadi pengelolaan hutan itu tidak bisa lagi dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan harus memasukan paradigma social forest (hutan kemasyarakatan).

Karena itulah, kini Pemkab Wonosobo memiliki icon khusus, yakni hutan kemasyarakatan menjadi satu pola bargain system (sistim kesepakatan) antar masyarakat, kemudian pemerintah provinsi, kabupaten kota dan juga antar departemen di pemerintah pusat. “Dengan begitu, kami berharap Wonosobo bisa menjadi kawasan unggul, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat” harapnya. (Risti/Salman/M-02)

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download